Senin, 16 Maret 2015

KANTOR POS PADANG 1911

Tradisi berkirim surat tentu terkait dengan budaya keberaksaraan (literacy). Sejarah mencatat bahwa dinas pos di negeri kita ini diperkenalkan oleh orang Belanda. Sebelum dinas pos ada, surat diantarkan langsung ke alamat oleh pengantar khusus. Namun, tradisi menulis surat tampaknya sudah ada sebelum orang Eropa datang ke Nusantara. Dalam kaitannya dengan hal ini, orang Minang agak unik: jika berkirim surat mereka cenderung memakai bahasa Melayu; kalau berbicara secara lisan (misalnya anak di rantau menelepon ibunya di kampung) mereka sering memakai bahasa Minang.

Bagi masyarakat Minangkabau yang suka merantau, surat adalah media yang penting untuk menghubungkan para perantau dengan keluarga yang ditinggalkan di kampung. Bila rindu kepada tepian tempat mandi membuncah dalam jiwa dagang Minang di rantau, maka ditulislah surat untuk menghantar rindu itu ke kampung. Surat itulah sebagai pengganti diri. Lamalah Tuan dagang tinggalkan / Habislah tahun berganti zaman / Satupun tidak dagang kirimkan / Dikarang surat kaganti badan, demikian tulis Syekh Daud Sunur dalam Syair Sunur (1830-an) yang ditulisnya dari tempat perantauannya di Trumon (Aceh Barat) kepada sanak familinya di Sunur, Pariaman. Banyak teks sastra Indonesia modern awal yang berlatar Minangkabau menggambarkan adegan berkirim-kiriman surat.

Dalam Postingan kali ini menurunkan gambar Kantor Pos Padang yang berbentuk kartu pos. Dijelaskan bahwa kartu tersebut adalah a hand coloured postcard of Padang, Sumatra Indonesia, yang memperlihatkan sebuah pemandangan Kantor Pos Padang dan kawasan sekitarnya yang indah. Kartu pos ini diterbitkan oleh Toko A.H. Tuinenburg di Padang pada tahun 1911 (kode penerbitannya 11823). Jadi, jika dihitung dari tahun ini, umur kartu pos ini genap 100 tahun.

Terlihat rimbunan pepohonan di sekitar kantor pos ini. Di depannya terbentang jalan besar bertrotoar cukup lebar yang sekarang bernama Jalan Sudirman. Ada beberapa foto lain tentang Kantor Pos Padang yang berusia lebih tua yang tersimpan di Perpustakaan KITLV Leiden dengan bentuk bangunan yang agak berbeda dengan yang telihat dalam foto ini (mudah-mudahan akan dapat kami turunkan pada kesempatan lain).

Di zaman BlackBerry ini, mungkin fungsi kantor pos sedikit menurun. Tapi tetap ada yang hangat pada surat. Walau sms-sms darimu mengketutus masuk ke HP-ku setiap hari, kadang-kadang aku masih merindukan suara tukang pos yang mengantar surat-suratmu yang kertasnya berhiaskan gambar mawar merah, dengan perangko di sampulnya bercap stempel Kantor Pos Padang. Tidak seperti sms-sms yang hambar dan tak berwarna itu, ketika membuka sampul suratmu, hatiku selalu berdegup kencang, karena di akhir kata-katamu yang manis, yang sering diselingi dengan pantun, selalu kutemukan cap bibirmu bertinta merah.

BUS UMUM PADANG PANJANG BATUSANGKAR TEMPO DOELOE

BUS UMUM adalah moda transportasi yang penting sejak dulu, apalagi bagi orang Minangkabau yang suka merantau. Kita tentu masih ingat kalason oto Gumarang yang mendayu-dayu di tahun 70-an, seolah ucapan selamat tinggal dari para lelaki Minang yang bertolak ke rantau kepada sanak famili dan kekasihnya yang ditinggalkan di ranah bundo. Dapat bepergian dengan bus pada masa dulu, seperti dapat dikesan dalam foto ini, sangat membanggakan hati, sama seperti naik Alfa Romeo, Rolls-Royce atau Limousine sekarang. Kendaraan auto pertama kali diperkenalkan di Indonesia sekitar 1898 (De Locomotief, 17/6/1898).

Foto koleksi F.H.J. Bal ini merekam bus umum trayek Padang Panjang Batu Sangkar (Fort van der Capellen) sekitar 1935. Plat nomornya masih BB tuh. Rupanya dulu para penumpang bus tampil agak parlente juga: pakai jas putih atau warna lain, dikombinasikan dengan pantalon putih atau sarawa jao. Sayang sekali jarang ada museum yang merekam sejarah transportasi di Indonesia. Bus seperti ini sudah tinggal kenangan saja. Dengan foto ini, sedikit banyaknya kita dibawa ke masa lampau sejarah transportasi di negeri kita, khususnya di Minangkabau. 

TABUIK PARIAMAN TEMPO DOELOE

Pesta Tabuik boleh dibilang identik dengan masyarakat Pariaman. Hoyak tabuik adalah pesta memperingati kematian Husein, cucu Nabi Muhammad S.A.W yang tewas dalam peperangan melawan tentara Yazid dan Bani Umayyah di Karbala, Irak pada tahun 61 Hijriyah. Upacara ini diselenggarkan setiap tanggal 1-10 Muharram. Di hari pesta hoyak tabuik, Pariaman selalu ramai oleh orang yang datang berhondoh-pondoh dari berbagai tempat.

Menurut Cameron Malik dalam http://ank-kau.blogspot.com (dikunjungi, 3-10-2010), adalah Resimen Tamil, yaitu tentara pribumi Inggris di Bengkulu, yang pertama kali memperkenalkan ritualtabuik pada abad ke-17. Anggota Resimen Tamil yang mayoritas beragama Islam itu menggelar pesta tabuik yang di Bengkulu bernama tabot. Perjanjian London 17 Maret 1824 mengharuskan Inggris menyerahkan Bengkulu kepada Belanda dan menerima pulau Tumasik (Singapura) yang semula dijajah Belanda. Anggota pasukan Tamil Inggris enggan pindah ke pulau Singapura yang berawa-rawa penuh nyamuk dan buaya itu. Mereka melakukan desersi dan lari ke daerah Pariaman. Karena pasukan Tamil beragama Islam, mereka dengan mudah diterima oleh masyarakat Pariaman yang pada saat itu juga tengah dimasuki ajaran Islam. Kemudian terjadilah pembauran budaya dengan masyarakat Pariaman seperti antara lain terefleksi dari pesta tabuik, yang hingga kini menjadi tradisi yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Pariaman.

Upacara tabuik terdiri dari serangkaian upacara yaitu: 1) upacara mengambil tanah; 2) upacara mengambil dan menebas batang pisang; 3) upacara mengarak jari-jari; 4) upacara mengarak sorban; 5) upacara tabuik naik pangkat; dan diakhiri dengan 6) upacara mengaraktabuik. Beberapa dari rangkaian upacara itu diiringi dengan gandang tambua, seperti pada upacara mengambil tanah, mengambil dan menebas batang pisang, mengarak sorban, mengarak jari-jari, dan prosesi menghoyak tabuik. (Cameron, ibid.).

Foto-foto yang disajikan di sini memperlihatkan cuplikan upacara tabuik pada dekade-dekade awal abad ke-20 di Pariaman. Foto-foto ini berasa dari beberapa koleksi Tropenmuseum di Amsterdam dan juga yang dibuat oleh seorang Belanda yang bernama J. Jongejans. Terlihat belum ada seliweran kabel listrik melintang jalan seperti sekarang yang menghalangi perarakan tabuik. Jumlah tabuik yang diarak mencapai tujuh buah. Terlihat betapa penuh sesaknya jalan utama di kota itu ketika tabuik diarak orang sebelum dibuang ke laut menjelang malam. Ribuan orang, besar-kecil, tua-muda, tumpah-ruah ke jalan seperti samuik tapangkua (semut tercangkul). Namun, sepertinya peserta perarakan tabuik didominasi oleh kaum lelaki. Barangkali kaum perempuan juga ikut, tapi hanya sekedar menyaksikan saja sambil menepi-nepi dari keramaian yang hiruk-pikuk itu. Sampai pertengahan abad ini boleh dikatakan ritual tabuik adalah pesta kaum lelaki. Ini masuk akal karena dimensi historis dan makna simbolisnya yang berhubungan dengan peperangan di zaman Bani Umayyah yang memang lebih banyak melibatkan kaum lelaki.

Sekarang ritual tabuik masih tetap diadakan setiap tahun di Pariaman, tapi tidak lagi semeriah dulu. Kadang-kadang masyarakat kekurangan dana untuk membuat tabuik. Ada pula terdengar kritik dari golongan Islam puritan: bahwa ritual tabuik harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan Islam. Sejak dulu orang-orang yang menganut agama secara puritan dan memakai paham kacamata kuda selalu ingkin pentang kamari bedo dan mengalami masalah dengan kebudayaan nenek moyangnya sendiri dan modernisme yang dibawa oleh kemajuan sains dan teknologi.


Sebagai bagian dari tradisi, biarkanlah pesta tabuik tetap hidup di Pariaman. Toh, karena tabuik pula Pariaman menjadi ramai, seperti terefleksi dalam sebait pantun dalam lagu Kim yang khas Pariaman itu: Pariaman tadanga langang /Dek tabuik makonyo rami / Tuan di rantau tadanga sanang / Baolah japuik badan kami..