Minggu, 01 Februari 2015

SALERO MINANG DALAM PERALIHAN

Condong mato ka nan rancak, condong salero ka nan lamak.
Condong mato ka nan rancak, condong salero ka nan lamak. Inilah ungkapan Minangkabau yang mengemukakan sifat manusia, bahwa seseorang itu senang melihat sesuatu yang indah dan kalau makan senang kepada yang enak. Ungkapan tentang senang kepada yang indah dan yang enak tersebut, sangatlah subyektif dan relatif sifatnya, baik ditinjau dari segi pero-rangan maupun dari segi kelompok masyarakat. Namun kita mengenal juga beberapa pengakuan akan kesamaan persepsi diantara masyarakat tertentu tentang selera mereka terhadap makanan tertentu pula. Misalnya di Sumatera Barat/Minangkabau tersebutlah seperti makanan yang spesifik dan khas: rendang Payakumbuh, gulai itik Kotogadang, dendeng batokok Muaro Kalaban, pangek ikan Ombilin, palai rinuk Maninjau dan lain-lain sebagainya.
Sejak banyaknya terjadi migrasi penduduk antar pulau di nusantara kita dalam alam perkembangan budaya dan peradaban bangsa Indonesia, langsung tidak langsung, sengaja atau tak sengaja, terjadi pula pembauran dan penyesuaian selera makanan antar suku bangsa yang masing-masing mempunyai kekhususannya. Dewasa ini di Sumatera Barat (terutama di kota-kota) telah muncul restoran-restoran yang pada daftar menunya berbagai masakan asal luar Minangkabau tercantum seperti: lotek, karedok, pecal lele, gudek, sayur asem, rawon, kankung-cha, fuyung-hai, bistik, tempe atau tahu bacem dan sebagainya.
Beberapa tahun terakhir, terlihat pula di kota Padang hadirnya di beberapa pusat keramaian, “bakery” dengan “cafetaria” dan “franchise” KFC (Kentucky Fried Chicken) atau CF (California Fried Chicken) serta “fast-food centre” lain. Melihat pertumbuhan dan perkembangan jenis rumah makan yang berbau Amerika/Barat ini, tergambar bahwa masyarakat atau penduduk Padang telah dapat menerima dan seleranya pun telah berkembang dengan menyenangi apa yang dinamakan “hamburger”, “hot-dog”, “pizza”, “spaghetti”, “maca-roni” dan makanan lain berbentuk roti. Dalam pada itu di kampung-kampung pedalaman Sumatera Barat terpantau juga banyaknya penjual-penjual makanan “mie bakso”, “mie pangsit” dan “shiomay”, yang tempo doeloe hanya bisa diperdapat di kota-kota pada restoran Cina. Yang dominan menjadi pedagang makanan tersebut terakhir ini adalah berasal dari orang kita Jawa sungguhpun diantaranya ada juga orang awak Minang perantau yang pulang kampung.
Dari segi lain, dalam proses pembauran selera makan antar suku atau etnis di nusantara kita, terjadi pula perasukan menu atau resep “selera Minang” ke mana-mana. Penyebaran “masakan Padang/Minang” terpantau dari pertumbuhan dan perkembangan kehadiran “rumah makan atau warung nasi Padang” di mana-mana terutama di kota-kota antar provinsi. Peminat atau pengunjung “rumah makan atau warung” tersebut, tidak hanya terbatas pada para perantau Minang saja, tetapi malah dapat menjadi kesenangan oleh masyarakat tempat lingkungannya. Dalam rangka mendapat kesempatan bepergian ke mana-mana, penulis mempunyai pengalaman dan mendapat ilustrasi berbagai cara perasukan “menu/resep masakan Padang” pada masyarakat dalam negeri dan luar negeri.
Pada suatu masa di tahun 1980, penulis bepergian lewat jalan darat dari Bukittinggi ke Medan berkendaraan bus umum. Sesampai di Prapat (Tapanuli) yang berlokasi di tepi danau Toba yang indah, si sopir mempersilakan para penumpang turun dari kendaraan untuk beristirahat sambil menikmati keindahan alam dan sekalian makan pagi. Diantara sekian banyak restoran atau rumah makan yang terlihat, terdapat sebuah yang ber merk “rumah makan Muslim masakan Padang”. Tanpa pikir panjang, pilihan penulis jatuh pada rumah makan tersebut untuk dapat menikmati makan pagi. Setelah selesai makan yang tidak puas, barulah ketahuan bahwa rumah makan masakan Padang itu tidak ditangani oleh orang Padang, tetapi tukang masaknya orang Tapanuli yang pernah tinggal di Bukittinggi.
Pada kesempatan lain di tahu 1982, penulis dengan beberapa teman-teman dariIndonesia mendapat tugas belajar selama enam bulan di kota London (Inggris). Penginapan serta makan kami ditetapkan dan diatur pada sebuah hotel yang lokasinya berdekatan dengan kampus uiversitas. Pada hari-hari bermula memang enak juga makan yang teratur di hotel pagi dan malam, sedangkan siang kami makan di kafetaria kampus. Rupanya bagi kami yang berasal dari Indonesia ini, berkepanjangan setiap hari disuguhi menu Eropa tidaklah memberikan kepuasan selera makan. Kemudian, dari pengembaraan kami di kota besar London itu, dapat juga ditemukan tiga restoran Indonesia di kawasan Soho (distrik yang terkenal karena “night club, foreign restaurant dan food shop nya”). Tiga restoran itu masing-masingnya bernama: “Rasa Sayang-sayange”, “Bali” dan “Melati”. Dua yang tersebut bermula adalah restoran Cina Indonesia dan yang bernama restoran “Melati” dapat dikatan rumah makan Indonesia asli. Pemilik dan juru masak serta menunya memang Indonesia, malah mirip dan dekat kepada “selera Padang/Minang”.
Sesudah beberapa kali makan di restoran Melati ini dan dapat mencicipi menunya seperti dendeng balado, goreng maco/ikan teri, masakan sayur slada ala Padang, goreng ayam balado dan lain-lainnya, maka penulis (negeri asal Bayur Maninjau) dan sdr. Nasroel (berasal dari Lubuk Alung Pariaman) sepakat bahwa masak-an cukup memuaskan dan menerka bahwa tukang masaknya mungkin dari Padang, Minang. Lewat pelayan restoran Melati ini juga, kami dapat berkenalan dengan “cook”/juru masaknya, dan terkaan kami itu benar. Juru masak dan sekaligus pemilik restoran Indonesia bernama Melati di Soho-London ini, berasal dari Tanjung Barulak (Tanah Datar-Minang) berkongsi dengan seorang wanita Malaysia dalam pengelolaan restoran tersebut. Diterangkan oleh orang Tanjung Barulak ini, bahwa restorannya bukanlah restoran Minang, tetapi restoran Melayu modifikasi Minang dan sejak kehadirannya di London tamunya adalah orang-orang yang umumnya berasal dari Asia, kalaupun ada orang Eropa maka biasanya yang pernah menetap di Malaysia dan Indonesia.
Dalam tahun 1985, penulis mendapat pula undangan mengikuti seminar pendidikan pada SUNY (State University of New York di AlbanyUSA). Pada hari terakhir di Albany itu, sebagai perpisahan deng-an para staf “School ofEducation”, penulis diundang makan bersama oleh Dekan Prof. Dick Clark. Hidangan makan siang tersebut ala prasmanan, sehingga langsung terlihat menu yang tersedia adalah “Indonesian Food” berciri-ciri masakan Padang/Minang, karena ada gado-gado ala Padang, dendeng balado, ayam bakar, goreng udang dan lain-lain. Penulis menyatakan senang sekali dapat mencicipi makanan Indonesia di Amerika Serikat yang jauh dari tanah air.
Dengan gembira Prof. Dick Clark dengan tersenyum menjawab” “Saya terkesan bahwa waktu beberapa hari di Padang dulu, anda telah memperkenalkan kepada saya menu Indonesia, khusus masakan di warung Padang. Karena itu saya juga ingin memperkenalkan kepada anda masakan Indonesia ala Albany”. Diceritakan oleh Prof. Clark, bahwa yang dimintanya menyiapkan makanan masakanIndonesia itu adalah keluarga yang suaminya berasal dari Sumatera dan isterinya berasal dari Amerika, yang sewaktu-waktu berseda membantu di bidang katering masakan Indonesia. (Penulis mengira, mungkin orang Sumatera yang laki-laki bisa memasak itu berasal dari Padang/Minang barangkali).
Dewasa ini di Sumatera Barat, dalam rangka pemantapan pendidikan dalam perkembangan kebudayaan sesuai dengan peradaban lingkungan , pada sekolah-sekolah diterapkan kurikulum nasional dan kurikulum muatan lokal. Dalam silabus dari kurikulum lokal Sumatera Barat, ada muatan tentang BAM (Budaya Alam Minangkabau) yang tujuannya adalah dalam penanaman apresiasi dan penghayatan budaya Minang. Berbicara mengenai pengembangan budaya dan peradaban, pasti kita akan menghadapi peralihan dan kemajuan tata kehidupan masyarakat berbagai aspek. Begitulah pula sebagaimana gambaran tata boga yang dikemukakan di atas, kita akan banyak menghadapi tantangan dalam usaha menanamkan apresiasi dan mempertahankan selera Minang di antara orang Minang sendiri. Barangkali kurikulum muatan lokal BAM yang akan diterapkan di Sumatera Barat telah punya program pendidikan dan pengajaran dengan perencanaan yang jitu.
Semoga.
Condong salero ka nan lamak. Kebudayaan dan peradaban akan selalu beralih atau berubah. Namun penulis punya catatan dan harapan, bahwa dalam makan selera dapat beralih atau berubah, tapi janganlah lupa makanan yang akan dipilih hendaklah yang bergizi (lima sempurna) dan yang halal menurut keyakinan agama masing-masing.
Adrin Kahar (Haluan Minggu, 12 Juli 1998)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar